Saturday, January 8, 2011

Pembiayaan Pembangunan "Proyek Pembangunan 1000 tower hunian" di seluruh Indonesia

Proyek pembangunan hunian vertical yang dicanangkan pemerintah selama lima tahun sejak 2007 dan dikenal dengan “Proyek Pembangunan 1000 Tower” pada akhir 2 tahun lalu (2009) mengalami keadaan stuck (terhenti) dan yang semula dipatok rampung tahun 2011 sulit terpenuhi. Menurut Eddy Ganefo, Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman pada Antara News mengatakan hal tersebut disebabkan oleh masalah teknis lapangan dan belum ada dukungan regulasi yang memadai yang dihadapi oleh pengembang dalam usaha partisipasi program pembangunan 1000 tower. Tetapi pada kenyataannya, dalam perkembangan program inipun menuai sejumlah permasalahan, seperti sumber dana yang meragukan karena membutuhkan sejumlah dana yang besar, persiapan yang minim.
 Proyek Pembangunan 1000 Tower ini dimaksudkan untuk mengatasi kebutuhan akan rumah oleh masyarakat di seluruh Indonesia yang setiap tahunnya makin meningkat khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah (4,5 juta kebawah). Proyek ini membutuhkan dana sebesar 40 trilliun jika diasumsikan satu menara membutuhkan dana Rp 40 miliar (pembebasan tanah dan pembangunan fisik), maka pembangunan 1.000 menara di seluruh Indonesia akan menggunakan dana sebesar Rp 40 triliun. Sumber dana yang digunakan untuk rusunawa menggunakan dana APBN, sedangkan untuk rusunami pembiayaannya melalui peran swasta maupun bekerja sama dengan pemerintah.  Pemerintah mendorong swasta untuk terlibat dalam pembangunan rusun dengan memberikan insentif kepada pengembang berupa keringanan pajak pertambahan nilai dengan kriteria luas 36 meter persegi dan harga maksimum Rp144 juta. Selain insentif kepada investor, Pemerintah kata Presiden juga memberikan subsidi kepada masyarakat berpenghasilan rendah agar mampu menjangkau cicilan harga rusun sederhana.
Tetapi dalam kenyataannya walau sudah diberikan keringanan pajak, ternyata para pengembang telah mengubah konsep pengembangan menjadi apartemen menengah (nonsubsidi) karena skim pembiayaan perumahan berubah. Perubahan itu membuat pengembang kesulitan menyesuaikan harga jual dan menghitung kelayakan investasi.  Perubahan yang sudah terjadi menyangkut persyaratan ketinggian lantai, ketersediaan ruang hijau, dan mekanisme subsidi. Menurut Hiramsyah, pengalihan pola subsidi dari subsidi selisih bunga (KPR) menjadi bantuan likuiditas cukup membingungkan konsumen, sehingga banyak yang menunda membeli sehingga menyebabkan rusunami/apartemen bersubsidi tidak laku sehingga hal tersebut dimanfaatkan oleh pembeli yang berpenghasilan 4,5 juta ke atas untuk membeli rusunami/apartemen bersubsidi tersebut sehingga tujuan pembangunan yang seharusnya tidak tercapai. Demikian pula bagi pengembang, perubahan kebijakan itu menimbulkan ketidakpastian berinvestasi. perubahan skim pembiayaan sangat besar mempengaruhi pasokan rusunami. dan salah satu penyebab lainnya, pengembang merubah konsep pengembangan menjadi apartemen menengah (non subsidi) dikarenakan tidak laku terjualnya unit apartemen bersubsidi tersebut dikarenakan harga dari rusunami/apartemen bersubsidi tersebut masih dirasakan berat bagi MBR.
PENDAPAT:
Saya setuju dengan adanya keringanan pajak yang diberikan pada pengembang karena dengan adanya keringanan pajak tersebut merupakan daya tarik untuk menarik semakin banyak pengembang untuk ikut berperan serta dalam program pembangunan 1000 tower sehingga sumber dana pembiayaanpun bertambah dan program ini dapat terselesaikan.
Pemberian keringanan pajak ini saya rasa merupakan kebijakan pemerintah yang bersumber dari instrument keuangan private-public equity financing (pemerintah bekerja sama dengan pihak swasta). Dimana pemerintah dan swasta saling bekerjasama untuk memadukan keunggulan. Keunggulan dari swasta seperti: modal, teknologi dan kemampuan manajemen dengan keunggulan pemeritah dalam hal kewenangan seperti keringanan pajak sumber-sumber dan kepercayaan masyarakat. Kewenangan pajak yang dimaksud yaitu pajak tersebut diatur sedemikianrupa sehingga menjadi alat yag dapat mendorong investasi pada program 1000 Tower ini sehingga menguntungkan ekonomi dan bisnis. Walaupun telah diberikan keringan pajak, syarat tetapan pembayaran 1 unit maximal 144 juta masih dirasakan memberatkan masyarakat berpenghasilan rendah meskipun telah ada pemberian subsidi dari pemerintah sehingga untuk mendapatkan hak milik dari 1 unit hanya dengan 15-20% sekitar (21,6-28,8) juta rupiah dirasa masih memberatkan masyarakat berpenghasilan rendah sehingga tujuan awal dari kegiatan ini tidak dapat tercapai.
Tetapi saya rasa tujuan ini dapat tercapai apabila pemerintah menggunakan metode dengan memberikan potongan pajak hingga 50% atau tax exempt bagi para pengembang yang menjual 1 unit rusunaminya dibawah 144 juta rupiah. Kebijakan tersebut dapat memperkecil selisih bunga sehingga harga jualpun dapat turun sehingga para pengembang yang merasa ragu untuk berperan serta dalam program inipun menjadi tertarik kembali dan tidak ragu untuk ikut dalam mensukseskan program ini (menciptakan iklim kondusif untuk berinvestasi). Sehingga para pengembang yang mengganti apartemen mereka menjadi berpola non subsidi akan kembali pada peraturan awal menjadi pola bersubsidi karena peluang masyarakat menengah ke bawah untuk membelipun ada karena harga perunit telah turun dan adanya pengubahan pola subsidi dari pemerintah yaitu bantuan likuiditas. Dengan bantuan likuiditas calon pembeli sudah diukur kemampuannya sesuai persyaratan yang telah ditentukan dan lebih ketat, antara lain dibuktikan dengan Surat Pemberitahuan dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) sehingga skem pembiayaanpun tidak mebingungkan kedua belah pihak. Pengembangpun mendapat jaminan dan pembelipun mendapatkan perumahan yang layak huni.   Sedangkan dengan adanya tax exempt maka pajak akan mengalami fluktuasi . Hal tersebut dapat diatasi dari efek pembangunan 1 tower karena apabila diasumsikan 100 tower dapat menyerap sekitar 500.000 tenaga kerja maka pembangunan 1 tower dapat menyerap 5000 tenaga kerja maka pemulihan pajak dapat diperoleh dari pajak pendapat masing-masing tenaga kerja dan dapat membantu perbaikan perekonomian dan menyelesaikan masalah penganguran.
Metode ini dapat berjalan dengan baik dan lancar apabila adanya regulasi yang kuat dan aparat pemerintahan ikut serta bekerjasama dan tidak malah mempersulit program ini sehingga tidak ada kerancuan dalam pelaksanaannya.